Senin, 16 Oktober 2017

Latar Belakang Kasus Trisakti



A.      Latar belakang dan kejadian kasus Trisakti

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam seta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Rentang waktu
Peta situasi Trisakti pada 12 Mei, 1998
 10.30 -10.45
        Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan. Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
    10.45-11.00
        Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
    11.00-12.25
        Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen, karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
    12.25-12.30
        Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
    12.30-12.40
        Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib pada saat turun ke jalan.
    12.40-12.50
        Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.
    12.50-13.00
        Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis barisan.
    13.00-13.20
        Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat (Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
    13.20-13.30
        Tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di mana long march tidak diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak pada saat yang hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
    13.30-14.00
        Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan kepolisian lainnya.
    14.00-16.45
        Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
        Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
    16.45-16.55
        Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tapi setelah dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau bergerak mundur.
    16.55-17.00
        Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.
        Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat yang menyamar.
    17.00-17.05
        Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama mundur.
    17.05-18.30
        Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.
        Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan, pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.
        Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.
        Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
        Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
    18.30-19.00
        Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
    19.00-19.30
 Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk sembunyi.
    19.30-20.00
        Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
    20.00-23.25
        Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.
        Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.
    01.30
        Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.

B.Tragedi Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada 2 kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka.
Tragedi I
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan Bacharuddin Jusuf Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa MPR 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa.
Garis waktu
 Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi.
    Pada tanggal 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
    Esok harinya, Jumat-13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Deskripsi
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 15:00, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan sekaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang. Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo (Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko (Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono, Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17 orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena peluru nyasar di kepala[3][4].
Tragedi II
Pada tanggal 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak di depan Universitas Atma Jaya.
Selain di Jakarta, pada aksi penolakan UU PKB ini korban juga berjatuhan di Lampung dan Palembang. Pada Tragedi Lampung 28 September 1999, 2 orang mahasiswa Universitas Lampung, Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton. Di Palembang, 5 Oktober 1999,
Meyer Ardiansyah (Universitas IBA Palembang) tewas karena tertusuk di depan Markas Kodam II.
C. Dwifungsi
Dwifungsi adalah doktrin yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dwifungsi sekaligus digunakan untuk membenarkan militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia, termasuk kursi di parlemen hanya untuk militer, dan berada di posisi teratas dalam pelayanan publik nasional secara permanen.
Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI telah mengalami distorsi, khususnya tentang penafsiran terhadap fungsi sosial politik ABRI yang dilaksanakan sekedar alat rezim yang berkuasa untuk mendukung dan mempertahankan kekuasaan. Peran sosial-politik ABRI yang tercakup dalam konsep Dwi Fungsi ABRI, sudah saatnya ditinjau kembali agar lebih aktual dan seiring dengan perkembangan jaman modern, yang makin menuntut adanya spesialisasi peran.  Dengan demikian, sistem politik Indonesia dapat berjalan seperti yang selama ini berlangsung secara normal di dunia internasional.
Setidaknya ada beberapa alasan yang bisa diungkap mengenai latar belakang penolakan terhadap Dwi Fungsi ABRI yaitu :
Dwi Fungsi ABRI telah mendorong tentara untuk terlalu jauh terlibat dalam pemerintahan. Dalam kenyataannya, dampak negatif seringkali lebih muncul. Kekuatan yang kuat di politik telah merangsang ABRI mengurusi atau menentukan bisnis di masyarakat. Bisnis ini dalam perkembangannya semakin memperkuat posisi tentara dalam pemerintahan, dan memperiferikan hak-hak ekonomi masyarakatnya.
    Dwi Fungsi ABRI nyata telah membuka penderitaan rakyat sipil. Tak jarang dengan kekuatannya, tentara melakukan penyiksaan, penculikan, pemenjaraan, penggusuran dan lain-lain. Sejarah politik di negeri ini sarat dengan keterlibatan tentara dalam setiap pengambilan kebijakan yang berhubungan dengan rakyat. Anehnya, tentara memihak ke negara bukan ke rakyat.
    Jika Dwi Fungsi ABRI itu masih dipertahankan, selama itu pula demokrasi berada dalam ancaman. Dalam tataran praktis, tentara sulit diajak untuk hidup berdemokrasi.
Di satu sisi memang harus diakui bahwa keterlibatan militer dalam politik memberikan kinerja yang efisien karena penerapan disiplin ala  militer  cukup ketat. Namun disisi lain, akibat negatif yang ditimbulkannya jauh lebih besar. Diantaranya adalah mempersempit ruang gerak sipil, serta adanya kecenderungan pemaksaan kehendak. Akibat yang lebih buruk lagi adalah ABRI justru tidak mampu menjalankan tugas utamanya untuk menjaga keamanan.
Jika militer tetap pada pendirian dengan Dwi Fungsinya, maka akan menimbulkan berbagai masalah, diantaranya:
Militer yang terlibat dalam politik akan merusak kompetisi politik.
    Militer yang terlibat politik akan mendistorsi kebijakan politik. Negara demokrasi memisahkan secara tegas antara pengambil kebijakan dengan pelaksana kebijakan politik. Pengambilan kebijakan politik diserahkan kepada partai pemenang  pemilu.  Sedangkan pelaksana  kebijakan politik diserahkan kepada aparatur negara, dalam hal ini birokrasi dan militer. Militer harus dinetralkan secara politik karena sifatnya sebagai aparatur negara.
    Militer ditugaskan untuk menjaga keamanan negara. Jika militer diberikan peranan politik, mereka dapat menjadikan keamanan negara sebagai “alat” dalam rangka menguasai politik keamanan, dengan menciptakan kerusuhan sosial yang pada gilirannya membahayakan keamanan negara.
Sekilas tentang Pemisahan Polri dan TNI
BEBERAPA diorama di Ruang Sejarah Museum Polri, menjelaskan mengenai sejarah perjalanan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), salah satunya adalah peristiwa pemisahan Polri dari ABRI.
Sejak bergulirnya reformasi pemerintahan 1998, terjadi banyak perubahan yang cukup besar, ditandai dengan jatuhnya pemerintahan orde baru yang kemudian digantikan oleh pemerintahan reformasi di bawah pimpinan presiden B.J Habibie di tengah maraknya berbagai tuntutan masyarakat dalam penuntasan reformasi, muncul pada tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan Polri menjadi lembaga yang professional dan mandiri, jauh dari intervensi pihak lain dalam penegakan hukum.
Sejak 5 Oktober 1998, muncul perdebatan di sekitar presiden yang menginginkan pemisahan Polri dan ABRI dalam tubuh Polri sendiri sudah banyak bermunculan aspirasi-aspirasi yang serupa. Isyarat tersebut kemudian direalisasikan oleh Presiden B.J Habibie melalui instruksi Presiden No.2 tahun 1999 yang menyatakan bahwa Polri dipisahkan dari ABRI.
Upacara pemisahan Polri dari ABRI dilakukan pada tanggal 1 april 1999 di lapangan upacara Mabes ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur. Upacara pemisahan tersebut ditandai dengan penyerahan Panji Tribata Polri dari kepala staff umum ABRI Letjen TNI Sugiono kepada Sekjen Dephankam Letjen TNI Fachrul Razi kemudian diberikan kepada kapolri Jenderal Pol (purn) Roesmanhadi.
Maka sejak tanggal 1 April, Polri ditempatkan di bawah Dephankam. Setahun kemudian, keluarlah TAP MPR No. VI/2000, kemandirian Polri berada di bawah Presiden secara langsung dan segera melakukan reformasi birokrasi menuju Polisi yang mandiri, bermanfaat dan professional.

D. Era Reformasi KPK
Memasuki era reformasi, upaya-upaya pemberantasan korupsi kembali dilakukan. Bentuk upaya Pemberantasan tindak pidana korupsi pada era reformasi meliputi berbagai hal seperti berikut :
1) Pembuatan Paket Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Korupsi
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pada era reformasi dimulai dengan dikeluarkannya berbagai peraturan
perundang-undangan antikorupsi seperti berikut:
a)   Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan   Nepotisme. Ketetapan MPR ini merupakan amanah dari MPR kepada presiden untuk memberantas korupsi.
b)   Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Presiden B.J. Habibie. Undang-undang itu tentang penyelenggaraan aparatur negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
c)   Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d)   Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Peraturan pemerintah ini dikeluarkan pada masa presiden Abdurrahman Wahid.
e)   Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2) Pembentukan Lembaga-Lembaga Pemberantasan Korupsi
Selain mengeluarkan seperangkat peraturan perundangundangan, pemerintah juga membentuk beberapa lembaga pemberantasan korupsi. Di antaranya sebagai berikut:
a)   Berbagai komisi atau badan baru yang dibentuk pada era pemerintahan Habibie seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lembaga Ombudsman.
b)   Berbagai komisi yang dibentuk pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pejabat Negara, dan pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Tim Tastipikor di lingkungan Kejaksaan.
c)   Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
E. Kasus dugaan korupsi Soeharto
menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri [1][2], Yayasan Supersemar [1][3], Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais) [1][4], Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab) [1], Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila[1][5], Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora [1][6]. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999
Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.
Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.
1.Tragedi Tri Sakti
2. Tragedi Semanggi I



























Bung Karno pernah mengatakan "Jas Merah" (jangan sekali-sekali melupakan sejarah). Tragedi Trisakti
yang terjadi 12 Mei 1998 yang selalu diperingati secara khidmat dan meriah oleh civitas akademika Universitas Trisakti, keluarga korban, dan mahasiswa Unversitas Trisakti dengan melakukan demo di depan istana negara, tidak hanya dijadikan momentum untuk menuntut pengungkapan siapa dibalik pelaku penembakan 4 (empat) mahasiswa yang menjadi titik awal dari gerakan reformasi tahun 1998, tetapi sangat penting mengambil pelajaran dan mencegah agar peristiwa serupa tidak terulang di masa depan. Pelajaran yang dapat diambil dari tragedi trisakti. Pertama, kejahatan kemanusiaan (HAM) selalu hadir pada rezim penguasa yang otoriter. Bangsa Indonesia harus mencegah tampilnya pemimpin yang merupakan bagian dari rezim otoriter Orde Baru. Kedua, kejahatan kemanusian yang terjadi di masa Orde Baru melalui penculikan dan penghilangan paksa nyawa para aktiviis pergerakan dan mereka yang dianggap melawan penguasa Orde Baru, jangan sekali-sekali melupakannya karena merupakan sejarah, yang oleh Bung Karno telah mengingatkan kepada bangsa ini dengan semboyan "Jas Merah". Ketiga, mereka yang pernah terlibat dalam kejahatan kemanusiaan, telah melakukan metamorfosis dengan membawa jargon "perubahan" untuk tampil kembali dipanggung kekuasaan dengan menggunakan kekuatan uang. Ini amat berbahaya karena watak tidak semudah membalikkan tangan untuk merubahnya. Maka yang harus dilakukan dan diperjuangkan terus-menerus adalah menyeret mereka ke meja pengadilan dan menghukum dengan hukuman mati jika terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan. Nyawa dibalas dengan nyawa. Lupa dan Tidak Peduli Reformasi Seiring dengan perjalanan waktu, yang paling berat, bangsa Indonesia suka dan mudah lupa melupakan sejarah seperti tragedi berdarah di Universitas Trisakti yang merenggut nyawa empat mahasiswa sebagai pemicu gerakan reformasi. Mengapa sekarang banyak yang lupa dan tidak peduli 'reformasi'. Setidaknya ada lima alasan yang mendasari. Pertama, reformasi gagal mengemban amanat penderitaan rakyat, karena reformasi dibajak oleh oknum-oknum yang merupakan bagian dari rezim Orde Baru. Kedua, reformasi yang melahirkan Orde Reformasi, sejatinya adalah merupakan gerakan yang bertujuan mengoreksi berbagai kesalahan rezim Orde Baru, tetapi yang terjadi justeru melanjutkan kesalahan yang dilakukan rezim Orde Baru. Dalam bidang ekonomi misalnya, 100 persen rezim Orde Reformasi meneruskan kebijakan rezim Orde Baru yang menitik-beratkan pertumbuhan ekonomi. Pelaku utama adalah teman-teman dari etnis Tionghoa dan pihak asing. Maka tidak mengherankan, jika mereka menguasai ekonomi Indonesia sekitar 70-80 persen. Pemerintah tidak berjuang dan tidak mewujudkan sama sekali cita-cita Orde Reformasi untuk menegakkan keadilan ekonomi, pada hal mahasiswa telah menjadi tumbal gerakan reformasi dengan nyawa, darah dan pengorbanan dalam menuntut keadilan. Ketiga, pemerintah gagal melawan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pada hal isu yang digulirkan gerakan reformasi adalah KKN, tetapi justeru KKN dikembangbiakkan di era Orde Reformasi. Keempat, pemerintah gagal meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada hal dalam Pembukaan UUD 1945 dengan tegas disebutkan bahwa tujuan Indonesia merdeka untuk memajukan kesejahteraan umum. Mana buktinya, apa-apa mahal sehingga mayoritas ibu-ibu mengeluh. Kalau saya sebagai pemimpin, malu ditengah berkuasa, muncul kerinduan masyarakat terhadap Presiden Soeharto, yang dijatuhkan dari kekuasaannya secara kurang terhormat. Seharusnya "eling" (sadar) bahwa pemerintah telah gagal memajukan kesejahteraan rakyat. Kelima, sistem yang diamalkan selama 16 tahun di era Orde Reformasi harus dikoreksi. Rakyat melalui pemilu telah menghukum Presiden SBY dan partai Demokrat yang gagal mensejahterakan rakyat, sehingga tidak memberi dukungan dalam pemilu legislatif 9 April 2014 seperti pemilu tahun 2009. Untuk menyelamatkan Orde Reformasi yang lahir dari tragedi Trisakti, bangsa Indonesia suka tidak suka dan mau tidak mau harus memilih Presiden baru yang bukan merupakan bagian dari rezim Orde Baru dan merubah sistem politik, ekonomi dan budaya dengan mengamalkan Trisakti Bung Karno yaitu "berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan". Kalau bangsa Indonesia melupakan tragedi Trisakti dan berbagai tragedi sebelumnya seperti tragedi tahun 1974 Malari, dan tragedi tahun 1977/1978 pembungkaman demokrasi penahanan seluruh pimpinan mahasiswa dan pembubaran Dewan Mahasiswa/Senat Mahasiswa, sehingga dalam pemilu Presiden 9 Juli 2014 memilih Presiden Indonesia yang merupakan bagian dari rezim Orde Baru yang diskriminatif, tidak adil, melakukan pelanggaran HAM, demokrasi dikubur, dan berbagai kejahatan kemanusian dengan alasan demi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pertahanan keamanan, maka bangsa Indonesia tidak tertutup kembali ke masa silam. Sejarah selalu terulang, jika suatu bangsa lupa pada sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar